Cukup lama juga sejak saya terakhir posting panjang2. Hehe. Ternyata berakhirnya UAS tidak kunjung juga memberi waktu luang buat saya karena Kerja Praktek langsung dimulai. Pagi KP, malam urusan2 lain... tertundalah terus 'hasrat' untuk menulis di blog lagi.
Ok, sesi curhat selesai. It's writing time!
Awalnya dari suatu kebetulan bisa punya sesi ngobrol2 via ym dengan mbak ini, saya jadi teringat dengan ide yang sudah lama terpikir tapi jarang saya kemukakan. Tentang wonderkid. Apa tuh?
Waktu kecil dulu, katakanlah waktu masa2 sekolah dasar, pasti selalu ada anak yang menjadi wonderkid di mata para guru dan para orang tua murid. Anak seperti ini biasanya adalah mereka yang langganan juara kelas, pandai matematika, dan hal2 semacam itu. Seingat saya, kebanyakan hanya mereka yang menonjol dalam bidang akademis lah yang mendapat highlights dari para orang dewasa. Jarang orang tua teman2 saya dahulu membanggakan anaknya yang pandai bermain basket atau jago bermain musik. Jarang sekali.
Menurut saya, masyarakat kita masih sangat mengagungkan kecerdasan kognitif dan logika semata. Masyarakat nampaknya masih belum menerima ide tentang multiple intelligence: setiap orang memiliki field masing2 yang mereka jenius di dalamnya. Saat saya kecil dulu rasanya saya seringkali didoktrin oleh orang2 dewasa di sekitar saya dengan ajaran 'jadilah-pintar-supaya-kaya'. Seolah tidak ada ruang lain selain mengembangkan kecerdasan kognitif dan logika. Contoh nyata: sudah jadi rahasia umum bahwa persepsi orang bahwa anak yang pintar adalah anak2 yang masuk jurusan IPA di sekolah menengah atas. Tidak ada apresiasi yang cukup bagi mereka yang berada di jurusan IPS apalagi Bahasa.
Padahal memang seharusnya tidak semua orang berbakat dalam bidang kecerdasan kognitif dan logika sebagaimana tidak seharusnya semua orang jago bermain sepakbola. Setiap orang diberi anugerahnya masing2 oleh Tuhan. Dan kenyataannya, hanya 20% dari komunitas lah yang sebenarnya diberi anugerah dalam hal kecerdasan kognitif dan logika -ini sungguh2 fakta, saya dapat dari salah satu paper yang saya rujuk ketika hendak mengikuti Imagine Cup beberapa bulan lalu-. Oleh karena itu tidak seharusnya semua orang berbondong2 menyerbu universitas untuk menjadi akademisi. Sebagian jadilah pesepakbola supaya negara kita bisa masuk piala dunia; sebagian lain jadilah sutradara hebat supaya perfilman dan pertelevisian kita tidak melulu dibanjiri film2 sampah berbau mistis, takhayul dan pembodohan massal; sebagian lain jadilah komikus dan buat komik2 Indonesia supaya anak2 kita tidak jadi badut2 penggemar cosplay dan bertransformasi menjadi separuh Indonesia dan separuh Jepang; sebagian lain jadilah musisi, jadilah penulis, jadilah apa saja.... .
Lebih lucu lagi, saat sekarang saya sudah dewasa ternyata saya mendapati bahwa doktrin 'jadilah-pintar-supaya-kaya' itu tidak benar. Banyak orang2 pintar yang saya lihat kemudian menjadi 'buruh berdasi' dan menyesaki industri2, diupah oleh orang2 luar negeri. Orang2 pintar lainnya menjadi akademisi, setia mengabdi, menurunkan ilmunya kepada pemuda2 penerus bangsa dengan gaji yang bikin saya mengelus dada.... . Orang2 pintar lainnya lari ke luar negeri karena disana kecerdasan mereka lebih dihargai. Ah, tah pa pa! Di negeri saya berita tentang Ariel Peterpan pisah ranjang bisa bertahan satu minggu hilir mudik dari satu infotainment ke infotainment lainnya sedangkan berita tentang tim olimpiade fisika menjadi juara dunia cukup numpang lewat di salah satu harian nasional, itu pun cukup seperempat halaman saja.
Jika saya memiliki anak nanti, jika dia bilang ingin jadi pesepakbola -dan jika saya punya cukup uang untuk membiayai- maka saya kirim dia ke Itali sana, belajar sepakbola yang bener di akademi2 sepakbola disana. Kan lumayan, siapa tahu bisa jadi pemain Indonesia pertama yang merasakan gelar juara liga Champions. Hwehe. My wonderkid is not only a kid with a great IQ, it's any kids with whatever gift God gave them.
Ok, sesi curhat selesai. It's writing time!
Awalnya dari suatu kebetulan bisa punya sesi ngobrol2 via ym dengan mbak ini, saya jadi teringat dengan ide yang sudah lama terpikir tapi jarang saya kemukakan. Tentang wonderkid. Apa tuh?
Waktu kecil dulu, katakanlah waktu masa2 sekolah dasar, pasti selalu ada anak yang menjadi wonderkid di mata para guru dan para orang tua murid. Anak seperti ini biasanya adalah mereka yang langganan juara kelas, pandai matematika, dan hal2 semacam itu. Seingat saya, kebanyakan hanya mereka yang menonjol dalam bidang akademis lah yang mendapat highlights dari para orang dewasa. Jarang orang tua teman2 saya dahulu membanggakan anaknya yang pandai bermain basket atau jago bermain musik. Jarang sekali.
Menurut saya, masyarakat kita masih sangat mengagungkan kecerdasan kognitif dan logika semata. Masyarakat nampaknya masih belum menerima ide tentang multiple intelligence: setiap orang memiliki field masing2 yang mereka jenius di dalamnya. Saat saya kecil dulu rasanya saya seringkali didoktrin oleh orang2 dewasa di sekitar saya dengan ajaran 'jadilah-pintar-supaya-kaya'. Seolah tidak ada ruang lain selain mengembangkan kecerdasan kognitif dan logika. Contoh nyata: sudah jadi rahasia umum bahwa persepsi orang bahwa anak yang pintar adalah anak2 yang masuk jurusan IPA di sekolah menengah atas. Tidak ada apresiasi yang cukup bagi mereka yang berada di jurusan IPS apalagi Bahasa.
Padahal memang seharusnya tidak semua orang berbakat dalam bidang kecerdasan kognitif dan logika sebagaimana tidak seharusnya semua orang jago bermain sepakbola. Setiap orang diberi anugerahnya masing2 oleh Tuhan. Dan kenyataannya, hanya 20% dari komunitas lah yang sebenarnya diberi anugerah dalam hal kecerdasan kognitif dan logika -ini sungguh2 fakta, saya dapat dari salah satu paper yang saya rujuk ketika hendak mengikuti Imagine Cup beberapa bulan lalu-. Oleh karena itu tidak seharusnya semua orang berbondong2 menyerbu universitas untuk menjadi akademisi. Sebagian jadilah pesepakbola supaya negara kita bisa masuk piala dunia; sebagian lain jadilah sutradara hebat supaya perfilman dan pertelevisian kita tidak melulu dibanjiri film2 sampah berbau mistis, takhayul dan pembodohan massal; sebagian lain jadilah komikus dan buat komik2 Indonesia supaya anak2 kita tidak jadi badut2 penggemar cosplay dan bertransformasi menjadi separuh Indonesia dan separuh Jepang; sebagian lain jadilah musisi, jadilah penulis, jadilah apa saja.... .
Lebih lucu lagi, saat sekarang saya sudah dewasa ternyata saya mendapati bahwa doktrin 'jadilah-pintar-supaya-kaya' itu tidak benar. Banyak orang2 pintar yang saya lihat kemudian menjadi 'buruh berdasi' dan menyesaki industri2, diupah oleh orang2 luar negeri. Orang2 pintar lainnya menjadi akademisi, setia mengabdi, menurunkan ilmunya kepada pemuda2 penerus bangsa dengan gaji yang bikin saya mengelus dada.... . Orang2 pintar lainnya lari ke luar negeri karena disana kecerdasan mereka lebih dihargai. Ah, tah pa pa! Di negeri saya berita tentang Ariel Peterpan pisah ranjang bisa bertahan satu minggu hilir mudik dari satu infotainment ke infotainment lainnya sedangkan berita tentang tim olimpiade fisika menjadi juara dunia cukup numpang lewat di salah satu harian nasional, itu pun cukup seperempat halaman saja.
Jika saya memiliki anak nanti, jika dia bilang ingin jadi pesepakbola -dan jika saya punya cukup uang untuk membiayai- maka saya kirim dia ke Itali sana, belajar sepakbola yang bener di akademi2 sepakbola disana. Kan lumayan, siapa tahu bisa jadi pemain Indonesia pertama yang merasakan gelar juara liga Champions. Hwehe. My wonderkid is not only a kid with a great IQ, it's any kids with whatever gift God gave them.
4 comments:
iya, gue juga merasa begitu bal.
masih banyak orangtua yang menanamkan pemikiran sempit macam itu. termasuk ortu gue sih. yah gimana dong.
paling gak, semua yang baca postingan lo ini, jadi semakin mengukuhkan diri kalau kelak mereka akan menanamkan budaya berpikir yang lebih bijak.
apa sih maaan :P
bukannya justru jaman sekarang udah lebih menerima multiple intelligence yah? dimana bukan rangking sekolah lagi yang orang tua banggakan saat arisan, tapi apa karya yang uda dihasilkan si anak,,
@ manda : I'm glad if my writing can be inspiring. huge big smile :)
@ mega : hmm.. ya bagus kalo gitu. tapi ternyata dari dua komen yg ada aja udah beda2 ya, manda bilang emang kaya yg saya tulis kondisinya, jeng mega bilang udah nggak. ya gapapa sih. emang harapannya yang saya tulis adalah sample yang salah. :D
sebagai ortu, pastinya donk pengen yang tbaik buat anak. di pikiran ortu kita, pintar itulah yang terbaik. gak salah juga si. mungkin aja ortu ngerasa kurang pinter, terus jadi pengen anaknya pinter banget (tebus dosa) atau ortunya pinter banget dan sukses, jadinya pengen juga donk anaknya sukses.
klo gw sendiri si,sekolah itu tetep nomor satu. tapi jangan sampe anak gw ntar jadi kuper, gak gaul, gak bisa bersosialisasi, gak bisa dandan, pemalu, dan semua hal yang menurut gw bikin dia lemah. anak gw klo udah pinter, gak boleh jadi alatnya orang lain, dipake trus bisa dibuang seenaknya. anak kudu punya harga diri dan bisa bersikap, dan itu -menurut gw- gak akan didapet dari pelajaran sekolah formal manapun! itu didapet dari hidup, dan hidup lebih banyak didapet dengan 'main di luar'.
so,biarin anak lo ntar 'maen di luar' -maksud gw,biarin dia explore dunia ini-, kotor gak apa2. kan klo gak kotor, gak belajar,hehehe...
sori ya bal, kepanjangan. abisnya otak gw gak cukup cuma di 10 atau 20 kalimat doank,hehehe...
pissss
Post a Comment