Monday, February 18, 2008

Definisi Formal dari Kata “Teladan”

Akhir – akhir ini saya cukup bersemangat dalam mengikuti perkembangan tim GDK HMIF. Setelah semedi, konstipasi, meditasi, dan diskusi panjang melelahkan sejak bulan Mei tahun lalu, akhirnya tim GDK mulai memiliki gambaran GDK HMIF. Profil kader mulai terbentuk dan karakter – karakter yang dirasa perlu dirumuskan sebagai pedoman pengkaderan di HMIF sudah didapat. We are getting closer to it! Tinggal satu masalah: mencari terminologi yang tepat. Disinilah kami bersepakat untuk merujuk pada kamus atau ensiklopedi agar memperoleh diksi yang baik. Setelah hampir sebagian besar entry kami temukan pada Encarta, kami menemui batu sandungan pada terminologi – terminologi yang “Indonesia banget”, misalnya kata “teladan”. Bersepakatlah kami untuk merujuk KBBI.

Entah kapan terakhir kalinya saya ke perpustakaan ITB sebelum hari ini. Sebenarnya saya bukan seorang yang malas membaca. Namun sungguh kunjungan ke perpustakaan ITB adalah sesuatu yang sangat “awful” bagi saya. Jika bisa, tentu saya akan memilih mencari referensi dari Encarta atau dari mbah Google saja daripada mencari KBBI disini. Karena… ok… saya ceritakan saja.

Berada di perpustakaan ITB serasa berada di parkir basement Bandung Indah Plaza. Langit – langit perpustakaan memang benar – benar mirip dengan langit – langit parkir basement BIP. Belum lagi lorong – lorong suram dan tidak nyaman di lantai dua dan tiga… . Ditambah bau apek buku tua yang terbengkalai dan bertumpuk tak teratur di rak – rak. Research university, anyone? Oh, please!

Sebagai makhluk yang jarang mengunjungi perpus, tentulah saya tidak tahu dimana KBBI terletak. Karena itu, saya merasa perlu mencari papan informasi…. . Dan pada momen itulah saya merasakan duka cita yang amat mendalam sebagai seorang mahasiswa Teknik Informatika ITB. Saya rasa papan informasi di parkir BIP saja lebih informatif dari pada papan informasi yang berada di sayap kiri lantai dasar perpus tersebut. Papan tidak menolong, beralihlah saya ke komputer yang seharusnya berisi katalog buku – buku yang ada di perpustakaan. Guess what? Saya terdampar ke zaman dimana GUI belum ditemukan! Saat sebagian distro linux sudah memiliki antarmuka dengan efek 3D luar biasa, katalog perpustakaan ITB hadir dengan antarmuka setara dengan tampilan BIOS. Ugh! Jangan pula Anda tanyakan reliability hasil pencarian yang diberikan. Search for “KBBI”, no result. Padahal ternyata ada.

Ayolah, saya rasa mau koq itu divpro HMIF dikasih proyekan untuk bikin sistem informasi yang layak bagi perpustakaan ITB kami tercinta, sekaligus mengisi ulang database katalognya kalau perlu. Kalau tidak salah sih sebenarnya HMIF memang pernah punya produk SIP (Sistem Informasi Perpustakaan). Tapi entahlah pernah diajukan untuk diimplementasikan di perpus pusat atau tidak.

Kan katanya ITB mau jadi research university. Masa’ kantin lebih ramai daripada perpus (ada tulisan saya lainnya terkait dengan hal ini disini). Padahal kan tak terhitung berapa buku bagus yang mungkin tersembunyi di lorong – lorong gelap dan bau apek di perpus itu. Saya bukannya tidak bersyukur dan mendambakan perpus yang mewah dan macam – macam. Saya hanya mendamba perpus yang nyaman, bersih, comfortable dan memiliki sistem informasi yang mengindikasikan bahwa kita berada di abad 21 (dan ini toh bisa didapat dengan biaya cukup murah mengingat di kampus ini ada sekelompok mahasiswa IT haus proyek yang harga jasanya nampaknya lebih reasonable dibandingkan dengan memproyek keluar). Betah nanti saya berlama – lama membaca buku, dari Hatta hingga Tan Malaka, dari Pramoedya hingga Emha, dari Halliday hingga Knuth. JK Rowling dan JRR Tolkien mungkin bolehlah ditambahkan. Hehe, mau perpus apa comic corner sih? :D

Eiya, ngomong - ngomong, definisi formal kata "teladan" apa ya? Anyone?

Saturday, February 09, 2008

Layu Sebelum Berkembang

Sebenarnya, tulisan ini merupakan terjemahan bebas dari tulisan Carlo Garganese, jurnalis www.goal.com favorit saya. Saya sebut terjemahan karena ya…. memang menerjemahkan saja, tidak banyak ide orisinil saya yang terlibat dalam tulisan ini, hampir 90% merupakan gagasan Mas Carlo (harusnya saya panggil Senor mungkin?). Saya sebut bebas… karena setelah saya menangkap gagasan inti Mas Carlo, saya tidak sungguh – sungguh menerjemahkan kata per kata atau kalimat per kalimat, sebebas saya saja…, seingat dan sepemahaman saya saja. Malas juga kalau harus kembali mencari artikel lama tersebut.

Carlo menyoroti perkembangan “daun muda” sepakbola di tiga negara sepakbola terkemuka: Italia, Spanyol dan Inggris. Menurut Carlo, dan beliau adalah seorang warganegara Italia jadi maklum saja kalau ada “domestic bias”, model pengembangan pemain muda di Spanyol dan Inggris kurang baik. Di Spanyol dan terlebih di Inggris, pemain – pemain muda “dipekerjakan” terlalu keras sejak dini. Sejak umur 18 – 19 tahun, pemain – pemain seperti Wayne Rooney, Cristiano Ronaldo, Cesc Fabregas, Lionel Messi atau Sergio Aguerro sudah secara regular bermain di klub dengan jadwal padat: liga domestik, piala liga, dan liga Eropa. Bayangkan, menginjak usia 23 tahun kelak, sudah berapa tackle sudah dirasakan seorang Lionel Messi? Seorang pemain dapat sembuh dari cedera, tapi engkelnya tidak pernah lagi engkel yang sama, demikian juga pace yang dimilikinya. Efeknya, pada usia yang harusnya menjadi usia emas pemain tersebut, sang pemain sudah kehabisan sebagian besar atribut fisiknya. Contoh yang paling tenar: Michael Owen. Saya sendiri berpendapat, Owen saat ini seharusnya pada usia emas, bukan saat ia 18 tahun dulu. Tapi, what does he achieve now? He is much like ex-rising star, without never really be a star.

Carlo membandingkan dengan model Italia. Pemain muda klub – klub besar Italia lebih lama “bergerilya” dengan dipinjamkan ke klub – klub kecil dengan jadwal yang tidak begitu padat. Katakan Marco Andreolli milik Inter, Sebastian Giovinco milik Juventus, atau Lino Marzoratti milik Milan. Anda tidak kenal mereka? Wajar, mereka belum menjadi seorang bintang sungguhan, sabar. Anda kan tidak kenal Andrea Pirlo waktu berumur 19 tahun? Atau… coba nama – nama ini: Gianluigi Buffon, Fabio Cannavaro, Alessandro Nesta, Luca Toni, ada yang Anda tahu dimana mereka bermain pada usia 18 – 20 tahun? Nah! Menurut Carlo, model ini lebih baik karena para pemain muda “matang pada waktunya”. Lihat saja pencapaian mereka saat ini!

Saya sendiri sependapat, diluar kenyataan bahwa saya juga penggemar sepakbola Italia. Untuk menambah argumentasi, saya ingin mengambil contoh tim nasional lain yang memiliki prestasi di ajang internasional: Jerman (FYI saya tidak suka Jerman, sungguh). Lihat lah nama – nama berikut: Lukas Podolski, Philip Lahm, atau Sebastian Schwansteiger masih dipandang sebagai “rising star” di usia mereka yang rata – rata 20an. I bet they will be great when they are 23 or 25. Jadi, saya setuju dengan Anda, Senor Carlo.

Mungkin ada pengecualian untuk Brazil… they’re extraterrestrial! Pato, Kaka, Robinho, Baptista, etc. Yah, apa boleh buat, di Brazil kan sepakbola sudah seperti agama. Trivia quiz, siapa presiden Brazil? Entah. Siapa menteri olahraga Brazil? Pele, eh sudah ganti belum sih? :p

Is That A Singing Contest?

Saya masih memegang prinsip saya bahwa pelaku hal – hal yang sampaikan sebagai hal buruk dalam blog ini harus diganti dengan variable samaran, sebaliknya pelaku “kebaikan” wajiblah disebutkan namanya. Kecuali jika suatu saat saya kelewat emosi. :D

Oleh karena itu, saya cukup menyebut reality show tersebut dengan X. X adalah sebuah contoh sempurna betapa acara televisi dapat merusak kehidupan. Kya kya, berlebihan ah. Tapi… please.., is that a singing contest?

Acara X berlangsung sejak jam 6 magrib dan berakhir…. yak, betul, pukul 12 malam! Sebenarnya, seandainya saja acara tersebut menyuguhkan sajian musik berkualitas saya pasti senang, karena berarti ada suguhan menarik selama… tunggu.. 6 jam? Ayolah, segala sesuatu, sekalipun yang baik, kan ada dosisnya. No, I don’t want to see a great music contest for six straight hours! Apalagi jika acara kontes musik yang sebenarnya tidak bermutu.

Ayolah, X lebih tampak seperti acara member komentar lucu dari para juri, eh apa sebutannya, juri bukan sih untuk ketiga tukang komentar itu? Ya, itulah. Bayangkan, lima menit menyanyi bisa ditimpali hampir setengah jam komentar! Ugh! Saya rasa kalau kelak RCTI harus menyewa ketiga orang ini untuk menjadi komentator siaran langsung Euro 2008. Karena, jika tiba – tiba terjadi kesalahan teknis dan siaran harus delay, para komentator ini sanggup koq memberi komentar tidak jelas sembari menunggu satu babak pertandingan sepakbola selesai. Dan tak usah, khawatir, nampaknya mereka cukup disukai para pemirsa.

Nah! Poin paling mengherankan dari keseluruhan reality show X ini: penggemarnya banyak! Asumtif sebenarnya, tapi… ayolah, Anda kan tidak akan memutar acara 6 jam sehari, 5 kali seminggu jika acara tersebut tidak disukai dan tidak mendatangkan banyak uang toh? Jadi… acara ini disukai? Sedemikian hingga sang produser dan stasiun televisi menayangkannya setiap hari sebanyak jumlah jam tidur yang direkomendasikan bagi orang dewasa sehat? Arghhhhhhhh….. our society is in problem! Masyarakat kita benar – benar kekurangan hiburan kalau begitu. Hfff.

Kalau dipikir – pikir, koq saya yang sewot? Ya, biar dong, blog saya! Hehe, merasa terganggu saja, sekian lama waktu siaran tersebut… rasanya tidak berharga deh. Apalagi mengingat sedang gencarnya imbauan untuk melakukan efisiensi energi demi mitigasi global warming*! Hey, ayo, matikan televisimu! Tak usah kau tonton acara tak berguna macam itu, hemat energi! Kekekekeke. I mean it, really.

* berdasarkan laporan, efisiensi energi di rumah tangga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 10%, hehe, oleh – oleh mengerjakan Imagine Cup nih

Kecil Kecil Belajar Jadi Preman

Sudah sejak lama saya menganut prinsip transaksional dalam berhadapan dengan pengamen. Intinya, tidak ada kasihan, pun tak ada umpatan. Dia jual, saya beli. Dia menyanyikan lagu yang enak, saya terhibur, ya saya beri uang. Tidak enak… ya sudah, Anda belum beruntung. Karena masalah pengamen dan anak jalanan ini memang selalu berada pada “moral gray area”. Ada yang bilang, jangan dikasih, sama saja dengan memelihara profesi mereka. Lebih baik diambil dan dididik saja. Entahlah, belum ada kemampuan untuk itu, jadi saya terus pada prinsip saya saja: transaksional. Lu jual, gw beli. No charity involved.

Tapi ada satu bentuk mengamen yang saya benciiiiiiii. It sounds like this:

“Seribu aja… seribu aja… se..ribu aja….”

Saya rasa jika Anda cukup gegabah untuk keluar berkendara di jalan Dago pada malam minggu tidak akan asing dengan syair lagu (jika kita bisa menyebutnya lagu) diatas. Biasanya dinyanyikan oleh sekelompok anak sekolah menengah atas dengan tujuan ngedanus.

Oke, kembali kita ke “moral gray area” untuk masalah ngedanus dengan mengamen. Pada akhirnya, saya kembali kepada prinsip transkasional tadi saja, jika ada yang mengamen, sekalipun sedang ngedanus, ya saya bayar jika saya merasa menikmati lagu yang dibawakan (tadinya mau saya tulis “dingameni” tapi jelas akan menunjukkan penggunaan tata bahasa yang ngawur). Jika saya tidak terhibur, maaf sobat.

Tetapi fenomena malam minggu di Dago adalah sebuah hal yang menyebalkan. Anak – anak sekolah ini akan terus berada di depan mobil Anda sambil menyanyikan (jika bisa disebut sebagai menyanyi) lagu tidak jelas itu dan sesekali bergerak tak karuan (uh, tak sampai hati saya menyebut kata “menari”, namanya peyorasi terhadap kata “menari” nanti). Hey, who do you think you’re kidding with?! Jika Anda tidak memberi seribu yang mereka tuntut, mereka tidak akan beranjak, mobil Anda tidak dapat bergerak, lalu lintas bertambah macet, dan mobil lain di sekeliling akan mulai membunyikan klaksonnya. Jadi, umumnya kita akan menyerah dan meberikan seribu tersebut dengan terpaksa.

Ugh! Itu namanya premanisme! Hehe. Ok, saya tidak benar – benar mencari tahu sih apa definisi KBBI tentang premanisme. Silakan Anda cari, kalau saya salah silakan protes, nanti saya cari kata lain lagi. :p Tapi… segerombolan orang memaksa orang lain menyerahkan uangnya, meskipun atas nama ngedanus, adalah bentuk pemalakan, adalah bentuk premanisme! Kecil – kecil belajar jadi preman!

Kreatif lah sedikit wahai teman. Buatlah musik yang menarik, yang menyenangkan, orang pasti akan simpati dan memberikan Anda “ganjaran” yang layak. Percaya atau tidak, dulu setiap kali saya makan siang di Gelap Nyawang sehabis Jumatan, selalu ada sekelompok pengamen cilik yang memainkan biola dan membawa lagu – lagu yang enak didengar. Favorit saya, Cinday! Saya lihat, gelas air mineral mereka selalu penuh dengan uang kertas ribuan atau bahkan lima ribuan. Audience just love them! Dan saya pun tak pernah ragu untuk “membayar” jasa menyanyi mereka.

“Cinday lah mana….,” ah, saya lupa syairnya!

From Stats Become Myths

Masih dalam suasana tahun baru, ada beberapa hal yang saya tidak suka dari perayaan tahun baru:
  1. Kembang Api dan Petasan
  2. Terompet
  3. Ramalan Mama Xxxx atau Ki Yyyyyy

Hehe. Entah apa negeri ini sedang krisis kepercayaan akan hal – hal rasional, atau karena stasiun televisi kurang kreatif, atau mendengarkan kebohongan sudah menjadi hiburan, tapi yang jelas… setiap kali tahun baru hampir seluruh stasiun televisi dan media massa lainnya menampilkan ramalan! Ramalan yang disajikan pun beragam, mulai dari ramalan gaya astrologi biasa hingga astrologi Cina, mulai dari paranormal tradisional macam Ki Sesuatu atau Mbah Sesuatu hingga pelamar “kontemporer” macam Mama Sesuatu atau Madam Sesuatu. Guess what? Those things make me sick!

Saya hanya punya satu hipotesis dengan dunia ramal meramal: that kind of things doesn’t exist! Kenapa? Karena jika saya sungguh – sungguh bisa meramal, percayalah, saya tidak akan membuka REG RAMALANBANGIQBAL untuk Anda! Um, lebih menarik jika saya ramalkan saja saham mana yang akan naik besok di Bursa Efek Jakarta. That way, I could earn much more money, I guess.

Jadi, pertanyaan besarnya, kenapa seseorang yang sanggup melihat masa depan harus repot – repot pasang iklan di berbagai media untuk “mencari sesuap nasi ” dengan kemampuan meramalnya? Jawaban saya, because they can’t foreseen anything, kecuali mungkin market research bahwa masyarakat kita masih gampang dikibuli. Ayolah, semua orang bisa membuat ramalan seperti:

“Akan ada sosok yang dulu disegani meninggal pada tahun 2008 ini”

Oh my God! That’s so stupid because...

  1. Setiap tahunnya ada banyak orang meninggal
  2. Tidak sedikit dari orang – orang yang meninggal setiap tahunnya adalah orang yang pernah disegani, terlepas berapa besar scope nya

Kalimat ini bisa lantas dirujuk sebagai “ramalan yang tepat” seumpama orang seperti Soeharto meninggal kelak. Atau mungkin Pak Habibie, atau mungkin Hidayat Nur Wahid (alm), atau mungkin.. come on the list goes on.. orang – orang yang dulu disegani dan memang sudah kian berumur tahun ini. It’s just a matter of time that death will come after them. What is a real thing? Kalau ada yang bisa mereamalkan siapa juara Euro 2008, siapa runner up nya, berapa skornya, siapa saja pencetak gol pada partai finalnya, dan pada menit berapa gol – gol tersebut terjadi! That is a real “prophecy”.

Lucunya, hal – hal berbau “klenik” ini justru lebih sering terjadi dalam cabang olahraga yang paling saya sukai, sang candu dunia modern, sang berhala abad 21: sepakbola! Dalam sepakbola, seringkali statistik berubah menjadi mistik. Maksud? Pernah dengar komentator di televisi berargumen seperti ini,

“Tapi bung, bukankah sudah 40 tahun ini Indonesia tidak pernah menang melawan Brazil di Rio de Jeneiro? Nampaknya akan sulit ya bung?”

Ok, lupakan kenyataan bahwa contoh diatas adalah contoh yang bodoh karena…:

  1. The fact, Indonesia tidak pernah bertemu Brazil memang
  2. Apalagi di Rio de Jenero
  3. Dan mungkin 40 tahun kedepan, timnas Brazil masih belum akan sudi mengundang PSSI ke Brazil…

That’s not my point. Tapi, sering kali data statistik justru dipercaya dan diperlakukan laksana “mitos”. Tifosi lantas senang berfantasi seperti, “Dulu dengan Trio Belanda Milan buas, sekarang dengan Trio Brazil Milan makin ganas!” And this example is for real, really. Bacalah rubrik suara tifosi di tabloid Bola misalnya.

Makanya, saat Juventus –tim kesayangan saya- akan bermain, saya menghindari membeli tabloid olahraga… karena nanti saya terlalu terbawa dengan mitos – mitos tak berdasar itu. Lagi pula, saya toh tak berniat berjudi, tak ada gunanya beragam prediksi itu! Lebih enak beli koran esok paginya, tentunya kalau Juve menang! :p

Tak Hanya Diam

Sesungguhnya, saya memiliki cukup banyak “target” untuk tahun 2008 ini. Tapi tidak semuanya saya tuliskan di blog tentunya. Yang saya tuliskan disini hanyalah hal – hal yang saya rasa ada baiknya jika di-share dengan banyak orang dan tidak menimbulkan image bahwa saya orang yang sangat eksibisionis dan ekstrovert. :D

Secara garis besar, saya berharap tahun ini saya Tak Hanya Diam. Maksudnya? Ya… tak hanya diam dalam banyak hal. Masa’ sudah hampir empat tahun berkuliah di IF ITB ga punya karya? Masa’ sudah hampir selesai kepengurusan HMIF tapi masih banyak hutang yang harus dikerjakan? Masa’ sudah setua ini belum juga punya gambaran masa depan? Masa’ jadi beraktivitas tapi ga punya integritas? Kira – kira, untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan tersebutlah saya tidak ingin hanya diam.

Rencana Besar

Um, selama empat tahun hampir saya menjadi seorang mahasiswa informatika, tapi rasanya minim sekali saya memiliki karya. Selama ini sebagian besar hal berbau informatika yang pernah saya kerjakan adalah tugas kuliah atau tugas rekrutmen lab. Diluar itu, hanya satu atau dua proyek kecil kecilan yang pernah saya kerjakan. Oleh karena itu, saya merasa, tahun ini saya harus membuat karya. Step yang paling dekat adalah Imagine Cup. Alhamdulillah, meskipun sebenarnya sudah cukup meleset dari jadwal yang diperkirakan hingga saat ini progress nya masih cukup baik. Tim saya, Rajawali, sebenarnya sudah punya target juga tapi demi menjaga ke-tidak-eksrovert-an saya maka targetnya apa tidak akan saya ungkap dulu disini. Yang jelas targetnya cukup besar, makanya saya beri tajuk “rencana besar”.

Selain itu saya juga menargetkan bisa menyelesaikan 3 side project tahun ini. Plus kalau bisa diakhir tahun bisa mendapatkan salah satu sertifikasi programmer yang diakui internasional seperti Sun Java Certified Programmer misalnya. Dan… ya, satu lagi, mulai bulan April harus mendapatkan kerja part time! Ayo semangat! Semester 9 harus mandiri!!!

Harmoni

Salah satu masalah besar para pelaku kemahasiswaan kampus ini adalah: integritas. Saya termasuk orang yang kacau untuk urusan ini. Tah pa pa! Iqbal Farabi yang berada di forum – forum ketua himpunan sangat berbeda dengan Iqbal Farabi yang ada di ruang kelas. Tak betul! Oleh karena itu, saya rasa saya harus menjaga harmoni antara apa – apa yang saya ucapkan dan yang saya perbuat, terutama dalam konteks saya sebagai seorang ketua himpunan. Oleh karena itu, tahun ini saya bertekad untuk belajar berintegritas…. . Pasti sulit, tapi harus bisa. Tah pa pa, paham segala macam tetek bengek tri darma perguran tinggi, peran fungsi posisi mahasiswa, dan segala macam konsep dewa itu kalau praktek di lapangannya nol! Ayo… belajar berintegritas, Bal!

Belum Terlambat

Yang satu ini tentang akademis. Walaupun akan terdengar seperti excuse, namun sungguh saya bukanlah penggemar sistem pendidikan ITB. Buku “Laskar Pelangi” dan “Orang Miskin Dilarang Sekolah” yang baru – baru ini say abaca menyadarkan saya satu hal: sekolah adalah barang mewah bagi sebagian besar rakyat Indonesia! Jadi… suka atau tidak suka, saya harus menjalani kewajiban akademis saya dengan baik, dalam artian berprestasi dan berkontribusi sesuai dengan bidang saya. Supaya tidak kufur nikmat. Oleh karena itu, semester ini saya bertekad untuk berprestasi dulu, baru nanti berkontribusi. Lha, piye, mau kontribusi gimana kalo ga punya ilmu? Jadi…, mari giat kuliah semester ini, belum terlambat!

Ketika Thariq bin Ziyad tiba di semenanjung Andalusia, para prajurit yang dipimpinnya takut melihat jumlah tentara yang menghadang. Thariq lantas membakar perahu – perahu yang merupakan satu – satunya sarana untuk melarikan diri dan mengeluarkan orasinya yang terkenal itu, “bla.. bla.. bla..”. Ok, saya lupa redaksi persisnya! :p Intinya, terjemahan bebas, di belakang tinggal laut, there is no escape. Di depan ada pasukan musuh, buanyaaaaaaaak. Mundur dan kamu akan mati percuma. Maju, mati dan raihlah kehormatanmu. Hasilnya? Sebagaimana yang kita ketahui dari sejarah, pasukan Thariq bin Ziyad berhasil menaklukan Andalusia. Dan… melalui resolusi yang saya publish secara terbuka di blog ini, saya sedang membakar perahu saya.

Tribute yang sebesar – besarnya bagi Padi atas judul album dan judul – judul lagunya yang saya gunakan dalam blog ini. Semoga tidak termasuk pelanggaran hak cipta. :)

“Semua perkataan yang menjatuhkan
tak lagi kudengar dengan sungguh
Serta tutur kata yang mencela
tak lagi kucerna dalam jiwa
Ku hanya pemimpi kecil
yang berangan tuk merubah nasibnya”

-dari “Sang Penghibur” oleh Padi dalam album “Tak Hanya Diam”-

Should We Really Celebrate New Year?

Baru – baru ini saya senang menonton serial “How I Met Your Mother”. Diluar kenyataan bahwa serial tersebut sangat tidak “ketimuran”, tapi serial ini sungguh lucu dan cukup “smart”. Dan… satu hal yang saya sangat senangi adalah, serial ini ternyata sepakat dengan saya dalam satu hal: New Year’s Eve sucks!

Karena itulah, suatu kali saya memasang status pada instant messenger saya: “should we really celebrate new year?”. Dan sebuah jawaban menarik datang dari seorang rekan,

“Ya nggak lah. Ngapain? Tapi…. ada bagusnya lho kita punya system penanggalan kaya’ gini, you could make new year as checkpoint to review and preview your life!”

Waha! Menarik sekali ini! Well…. Sebagai makhluk yang sangat dependen terhadap waktu, tentunya memang kita butuh patokan, checkpoint kalau kata teman saya. Sistem akademis saja menatapkan tanggal – tanggal tertentu untuk mereview pelaksanaan belajar mengajar (dalam bentuk UAS, UN, EBTANAS?). Perusahaan pun menetapakan waktu untuk membuat preview (dalm bentuk rencana anggaran bulanan, tahunan?). Mungkin saya juga harus mencobanya… .

Well… should thanks Astrid Dita so much for this thought. Demi kenyamanan pembacaan di blog dan demi membuat blog saya nampak banyak post, saya bagi saja preview tahunan saya pada post lain.

Hmm… sengaja saya ambil dari judul lagu Padi, untuk mengembalikan khittah blog ini sebagai blog yang bertajuk “Thoughts, Rhythm and Puzzle”… I’ve missed the rhythm for so long now. Dan jangan khawatir, Anda tidak akan menemukan diary online pada kedua post tersebut, semoga. :D . Masih mencoba memposisikan blog ini sebagai sarana berbagi ide dan pemikiran koq… . :)