Friday, September 29, 2006

Kaderisasi, Himpie, tentang Pilihan dan Keterpaksaan (2)

Oke, setelah sempat tertunda kemaren, sekarang gw punya waktu yg sedikit luang lagi buat ngelanjutin tulisan soal kaderisasi ntu. Sama juga dengan kemaren, bahasa yang akan gw gunakan dalam paragraf berikut-berikutnya akan lebih formal karena rasanya emang bahasa formal yang lebih natural buat ngomongin hal-hal kaya gitu.

Pada catatan sebelumnya telah saya sedikit ulas mengenai mengapa kaderisasi penting untuk keberlangsungan hidup suatu himpunan yakni karena kebutuhan akan sumberdaya. Maka pada catatan ini saya akan lebih mengulas aspek lainnya.

Nilai penting kaderisasi yang lain adalah kebutuhan akan penurunan nilai. Terdengar utopis mungkin tapi memang begitulah adanya. Pada tiap society, apapun bentuknya, selalu terdapat nilai yang dipegang oleh komunitas tersebut. Jangankan sebuah himpunan yang proses pembentukannya harus melalui pembuatan AD/ART yang rumit, geng nongkrong saja punya nilai tertentu yang mereka pegang. Terlepas dari apakah nilai-nilai yang dipegang oleh suatu komunitas salah atau benar, sebuah komunitas pasti hanya akan menganggap seseorang menjadi bagian dari komunitasnya hanya jika seseorang tadi juga memegang nilai-nilai yang sama dengan komunitas tersebut.

Demikian dengan himpunan-himpunan, penurunan nilai-nilai yang telah lama dimiliki oleh tiap-tiap himpunan adalah warna dasar dari sebuah kaderisasi. Katakanlah pada HMM, sebagai orang luar saya melihat kaderisasi HMM sangat ingin menanmkan 'Solidarity Forever' mereka. -pada HMIF bagaimana ya? apa yang selama ini sebenarnya ingin kita tanamkan?-

Oleh karena itu, bila bentuk kaderisasi yang terlihat secara kasat mata oleh pihak luar (baca: rektorat) dinilai sedang mengajarkan nilai-nilai yang salah, maka sesungguhnya bukan kaderisasi lah yang harus dilarang namun nilai-nilai dalam kehidupan himpunan lah yang mesti ditinjau. Bisa saja saat kita dari luar menilai suatu bentuk adalah salah namun saat kita meninjau nilai yang ingin ditanamkan dengan bentuk itu maka kita menganggap bentuk tadi menjadi benar -bukan tidak mungkin juga tetap salah-.

Bila nilai-nilai yang ingin diturunkan dalam proses kaderisasi sudah benar -atau haruskah saya gunakan kata 'baik' saja?- maka metode penurunan nilai-nilai tadi yang harus dibenahi. Tujuannya jelas: agar nilai-nilai yang ingin diturunkan benar-benar terserap. Kendala utama biasanya ada disini. Entah karena kita (baca: himpunan-himpunan selaku penyelenggara kaderisasi) yang tidak kreatif atau karena memang metode seperti yang selama ini kita kenal lah yang paling efektif, kenyataannya kita memang masih terpaku pada metode-metode yang telah bertahun-tahun diterapkan di kampus ini. Terpaku dalam artian mungkin saja metode lapangan sudah tidak digunakan namun tetap saja dalam hati terasa ada yang 'kurang' tanpa metode lapangan.

Tapi rasanya kita harus beranjak. Setidaknya, saya harus beranjak. Metode baru harus ditemukan. Apakah lantas saya dianggap terbawa arus? Terserah! Bagi saya yang lebih penting adalah nilai bukan bentuk. Untuk mempertahankan nilai, adaptasi terhadap bentuk itu perlu. Apakah lantas saya dianggap tidak punya independensi sebagai mahasiswa? Terserah! Memang saya belum sepenuhnya merdeka! Hidup saja masih dibiayai orang tua! Himpunan juga masih minta duit dari prodi, sekolah, rektorat. Apakah berarti saya tidak punya idealisme? Dalam batas pemahaman saya tentang 'idealisme', saya punya! Tetapi tidak untuk dipaparkan, setidaknya untuk saat ini.

Hmm.. ternyata melebar cukup jauh tulisan ini. Yah.. semoga dapat menjadi catatan yang baik dan memberikan pengaruh baik bagi yang membacanya, entah sependapat atau tidak sependapat dengan catatan ini.

1 comment:

Zakka Fauzan Muhammad said...

Yak... Ini materi yang berat... Jadi bingung juga gimana nanggepinnya :P